Pertemuan Tak Terduga di Taman Pandapa

 Di tengah keramaian sore yang teduh, membawa keindahan tersendiri pada taman yang kini tampak damai. Taman Pandapa, tempat favoritku sejak dulu, banyak kenangan indah tertinggal di sana.


Aku duduk di salah satu bangku taman disana, menunggu teman temanku yang tak kunjung datang. Hari ini aku sudah ada janji dengan teman temanku untuk menonton suatu pertandingan bola di Stadion Mashud Wisnusaputra.


Setelah teman temanku datang, kita bergegas pergi ke stadion untuk membeli tiket pertandingan bola itu. Aku dan teman temanku duduk di bangku tribun dengan perasaan gembira. Tatapanku tak pernah lepas dari pemain bernomor punggung 22 dengan mengenakan kaus ungu muda dari timnya.


Setelah pertandingan berakhir, aku dan teman temanku meninggalkan bangku tribun dan kembali berjalan menuju taman Pandapa. Ketika aku dan teman-temanku berjalan kembali menuju taman Pandapa, pikiranku masih terpaku pada pemain nomor 22 itu. Setiap gerakan dan ekspresinya di lapangan begitu memikat. Sudah lama aku mengaguminya, bahkan sebelum pertandingan hari ini. Melihatnya secara langsung seperti mimpi yang menjadi kenyataan.


Namun, begitu kami sampai di taman, aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di bangku taman yang biasa aku duduki, duduklah sosok yang tak asing, pemain nomor 22 dengan kaus ungu muda yang kini tertutup jaket hitam. Dia tampak sedang mengistirahatkan diri sendirian, dengan kepala tertunduk seolah lelah setelah pertandingan.


Jantungku berdegup kencang, dan aku berhenti melangkah. Teman-temanku yang menyadari keberadaannya langsung memberi isyarat agar aku menghampirinya. Dengan sedikit ragu dan gugup, aku memberanikan diri berjalan mendekat.


“Hai… maaf, kamu nomor 22, kan? Tadi kamu main luar biasa!” ucapku dengan suara yang hampir bergetar.


Dia mendongak dan menatapku, tersenyum hangat. “Oh, terima kasih. Senang ada yang menghargai permainanku.” Suaranya ramah, dan tiba-tiba gugupku berubah menjadi rasa nyaman.


 "Aku sering melihatmu di tribun. Setiap Sabtu, kan?" tanya Albas kepadaku 


Aku tersenyum malu. “Iya, aku selalu suka melihat kamu bertanding.”

Albas tertawa kecil, lalu menatapku dengan tatapan hangat. 


Percakapan kami terus berlanjut. Dia bercerita sedikit tentang pertandingan, dan aku dengan antusias mendengarkan. Teman-temanku diam-diam memberi ruang untuk kami berdua, membiarkanku menikmati momen yang sudah lama aku impikan ini.


Namun, saat suasana mulai akrab, seorang pria paruh baya menghampiri kami. Dia tampak serius dan langsung berbicara pada pemain itu. “Maaf, tapi kita harus pergi sekarang,” katanya dengan nada tegas, mungkin pelatihnya.


Pemain nomor 22 itu tampak sedikit kecewa, tapi dia menatapku dan tersenyum lagi. “Maaf, sepertinya aku harus pergi. Tapi... bolehkah aku tahu namamu?”


Dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya, aku menyebutkan namaku. “Aku Raveena.”


“Senang bertemu denganmu, Raveena. Sampai jumpa lagi, ya,” katanya sambil tersenyum.


Di penghujung pertemuan, aku berharap semoga ini bukan pertemuan terakhir kita di taman Pandapa, tetapi awal dari kisah yang lebih indah.


Sejak hari itu, aku tahu bahwa perasaan ku tak lagi bersembunyi di tengah keramaian tribun. Kita kini memiliki ikatan tak kasat mata, yang terbentuk di antara sorakan penonton di sisi lapangan dan pertemuan tak terduga di taman Pandapa.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Lagu "Superpowers" Daniel Caesar

Resep Brownies Crispy