Nobody but Him
Senja menggantung di langit, memercikkan warna jingga yang membakar cakrawala. Aura duduk di bangku taman kesukaannya, ditemani segelas kopi dingin yang kini terasa hambar. Hidupnya berjalan sederhana, tanpa hiruk-pikuk, tanpa lonjakan emosi yang melelahkan. Ia menikmati ketenangan itu—atau begitulah yang selalu ia yakini.
Hingga suatu hari, hadir sosok yang tak terduga.
Dia datang seperti angin musim semi, menyelinap ke dalam hidup Aura tanpa permisi. Seorang pria dengan senyuman yang hangat dan sorot mata yang penuh gairah, membawa dunia yang tak pernah Aura bayangkan sebelumnya. Dengan langkah ringan dan kata-kata yang tak pernah terdengar, ia memberi Aura sesuatu yang tak pernah ia miliki: warna.
Hari-hari yang sebelumnya monoton kini dipenuhi dengan keajaiban kecil. Setiap momen bersamanya adalah perjalanan—melihat dunia dari sudut yang berbeda, memahami makna di balik hal-hal yang tampak biasa. Aura belajar tertawa dengan tulus, merasakan kebahagiaan yang sederhana, dan untuk pertama kalinya, ia merasa hidup.
Namun, seperti angin yang datang tanpa peringatan, dia pun pergi dengan cara yang sama.
Suatu pagi, Aura kembali ke taman dengan langkah penuh semangat. Tapi bangku di sebelahnya kosong, begitu juga ruang di hatinya yang baru saja ia biarkan terbuka. Tidak ada pesan, tidak ada tanda, hanya keheningan yang menggema.
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Aura tetap mencari, berharap dia akan kembali, meski hanya untuk sekadar berpamitan. Tapi tidak ada jejak yang tersisa, seolah dia hanya bayangan yang singgah sementara.
Aura tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan. Tapi kini, setiap sudut taman, setiap warna senja, bahkan secangkir kopi yang ia genggam, mengingatkannya pada sosok yang pernah mengisi ruang hatinya, meski hanya sebentar.
Dengan tatapan kosong ke langit yang mulai gelap, Aura menyadari sesuatu yang memilukan tapi penuh makna: "Beberapa orang datang bukan untuk tinggal, melainkan untuk mengajarkan bagaimana rasanya kehilangan."
Komentar
Posting Komentar